Pemboikotan wisata yang dilakukan China terhadap Jepang telah menciptakan dampak signifikan bagi industri perjalanan di kedua negara. Hal ini dipicu oleh pernyataan kontroversial dari Perdana Menteri Jepang yang menyinggung isu sensitif terhadap Taiwan, mengundang reaksi keras dari Beijing.
Akibatnya, banyak agen perjalanan yang merasakan tekanan karena wisatawan dari China mengurungkan niatnya untuk berkunjung ke Jepang. Situasi ini turut berdampak pada pendapatan banyak bisnis yang terhubung dengan sektor pariwisata.
Dampak Pemboikotan Terhadap Bisnis Agen Perjalanan
Bisnis agen perjalanan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak dari pemboikotan ini. Menurut Wu Weiguo, seorang manajer travel di Shanghai, dampak terbesarnya dirasakan pada group travel yang menjadi populer di kalangan wisatawan China. Sekitar 90 persen kliennya meminta pengembalian uang untuk perjalanan yang telah direncanakan ke Jepang.
Meskipun perjalanan berkelompok menjadi sangat terpengaruh, data menunjukkan bahwa kelompok tersebut hanya mencakup sekitar 12 persen dari total wisatawan China ke Jepang. Mayoritas wisatawan lebih memilih untuk melakukan perjalanan secara individu, yang menjelaskan adanya harapan untuk tetap mengunjungi negara tersebut.
Perhatian terhadap perjalanan individu tampaknya tetap tinggi di kalangan wisatawan China. Meskipun ada pemboikotan, banyak yang masih bermimpi untuk menjelajahi keindahan Tokyo dan destinasi lainnya di Jepang.
Tren Kedatangan Wisatawan China ke Jepang
Jepang sebelumnya mencatat China sebagai sumber wisatawan terbesar, dengan hampir 7,5 juta pengunjung dalam sembilan bulan pertama tahun 2025. Data ini menunjukkan bahwa sekitar seperempat dari total wisatawan mancanegara yang datang ke Jepang berasal dari China.
Konsumen dari China sering kali sangat antusias untuk berbelanja dan menikmati layanan berkualitas. Meski saat ini terjadi perlambatan, banyak pakar percaya bahwa daya tarik terhadap Jepang akan tetap kuat dalam jangka panjang.
Konsumen juga terlihat lebih memilih layanan yang berkualitas tinggi dan pengalaman yang berbeda saat berada di luar negeri, yang turut mendorong minat mereka untuk mengunjungi Jepang meskipun dalam konteks pemboikotan.
Dampak Finansial Terhadap Sektor Ritel dan Perhotelan
Bisnis perhotelan dan ritel di Jepang juga merasakan dampak signifikan dari kehilangan pengunjung dari China. Wisatawan China diketahui menghabiskan lebih banyak uang dibandingkan wisatawan asing lainnya, baik untuk makanan maupun barang-barang konsumsi seperti perawatan kulit.
Beberapa bisnis ritel bahkan menyediakan asisten yang berbahasa Mandarin untuk melayani pelanggan yang datang dari China. Papan nama dalam bahasa Mandarin juga umum dijumpai di berbagai department store sebagai upaya untuk menarik perhatian para wisatawan.
Organisasi Pariwisata Nasional Jepang memperkirakan bahwa pada tahun 2024, setiap tourist asal China akan menghabiskan rata-rata 22 persen lebih banyak dibandingkan dengan pengunjung lainnya. Hal ini menunjukkan potensi pendapatan yang hilang akibat penurunan jumlah wisatawan dari negara tersebut.
Risiko Pariwisata Berlebihan di Jepang
Tahun lalu, Jepang mencatat rekor 36,8 juta kedatangan wisatawan dari seluruh dunia, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai pariwisata berlebihan. Dengan lonjakan jumlah pengunjung, banyak warga lokal mengeluhkan dampak negatif yang ditimbulkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Munculnya kekhawatiran ini menunjukkan bahwa Jepang perlu mencari keseimbangan antara menarik wisatawan dan menjaga kualitas hidup warga lokal. Penting bagi pemerintah dan sektor pariwisata untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pariwisata massal.
Situasi ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam mengelola pariwisata di Jepang. Hal ini tidak hanya dalam memperhatikan kebutuhan wisatawan, tetapi juga melindungi hak-hak dan kenyamanan warga setempat.














